ASKEP SINDROM GUILLAIN BARRE
A.
Definisi
Sindroma Guillain Barre (SGB)
merupakan suatu sindroma klinis yang ditandai adanya paralisis flasid yang
terjadi secara akut berhubungan dengan proses autoimun dimana targetnya adalah
saraf perifer, radiks, dan nervus kranialis. ( Bosch, 1998 )
SGB
mempunyai banyak sinonim, antara lain :
- polineuritis akut pasca infeksi
- polineuritis akut toksik
- polineuritis febril
- poliradikulopati,dan
- acute ascending paralysis.
B.
Etiologi
Etiologi SGB sampai saat ini masih
belum dapat diketahui dengan pasti penyebabnya dan masih menjadi bahan
perdebatan. Beberapa keadaan/penyakit yang mendahului dan mungkin ada
hubungannya dengan terjadinya SGB, antara lain:
- Infeksi
- Vaksinasi
- Pembedahan
- Penyakit sistematik :
ü
Keganasan
ü
systemic
lupus erythematosus
ü
tiroiditis
ü
penyakit
Addison
- Kehamilan atau dalam masa nifas
SGB sering sekali berhubungan dengan
infeksi akut non spesifik. Insidensi kasus SGB yang berkaitan dengan infeksi
ini sekitar antara 56% – 80%, yaitu 1 sampai 4 minggu sebelum gejala neurologi
timbul seperti infeksi saluran pernafasan atas atau infeksi gastrointestinal
Salah satu hipotis menyatakan bahwa
infeksi virus menyebabkan reaksi autoimun yang menyerang mielin saraf perifer.
Infeksi akut yang berhubungan dengan
SGB
Infeksi
|
Definite
|
Probable
|
Possible
|
Virus
|
CMVEBV
|
HIVVaricella-zosterVaccinia/smallpox
|
InfluenzaMeaslesMumps
Rubella
Hepatitis
Coxsackie
Echo
|
Bakteri
|
CampylobacterJejeniMycoplasma
Pneumonia
|
Typhoid
|
Borrelia BParatyphoidBrucellosis
Chlamydia
Legionella
Listeria
|
C.
Patogenesa
Mekanisme bagaimana infeksi,
vaksinasi, trauma, atau faktor lain yang mempresipitasi terjadinya
demielinisasi akut pada SGB masih belum diketahui dengan pasti. Banyak ahli
membuat kesimpulan bahwa kerusakan saraf yang terjadi pada sindroma ini adalah
melalui mekanisme imunlogi.
Bukti-bukti bahwa imunopatogenesa
merupakan mekanisme yang menimbulkan jejas saraf tepi pada sindroma ini adalah:
- didapatkannya antibodi atau adanya respon kekebalan seluler (celi mediated immunity) terhadap agen infeksious pada saraf tepi.
- adanya auto antibodi terhadap sistem saraf tepi
- didapatkannya penimbunan kompleks antigen antibodi dari peredaran pada pembuluh darah saraf tepi yang menimbulkan proses demyelinisasi saraf tepi.
Proses demyelinisasi saraf tepi pada
SGB dipengaruhi oleh respon imunitas seluler dan imunitas humoral yang dipicu
oleh berbagai peristiwa sebelumnya, yang paling sering adalah infeksi virus.
D.
Patofisiologi
E.
Patologi
Pada pemeriksaan makroskopis tidak
tampak jelas gambaran pembengkakan saraf tepi. Dengan mikroskop sinar tampak
perubahan pada saraf tepi. Perubahan pertama berupa edema yang terjadi pada
hari ke tiga atau ke empat, kemudian timbul pembengkakan dan iregularitas
selubung myelin pada hari ke lima, terlihat beberapa limfosit pada hari ke
sembilan dan makrofag pada hari ke sebelas, poliferasi sel schwan pada hari ke
tigabelas. Perubahan pada myelin, akson, dan selubung schwan berjalan secara
progresif, sehingga pada hari ke enampuluh enam, sebagian radiks dan saraf tepi
telah hancur.
Asbury dkk mengemukakan bahwa
perubahan pertama yang terjadi adalah infiltrasi sel limfosit yang ekstravasasi
dari pembuluh darah kecil pada endo dan epineural. Keadaan ini segera diikuti
demyelinisasi segmental. Bila peradangannya berat akan berkembang menjadi
degenerasi Wallerian. Kerusakan myelin disebabkan makrofag yang menembus
membran basalis dan melepaskan selubung myelin dari sel schwan dan akson.
F.
Klasifikasi
Beberapa
varian dari sindroma Guillan-Barre dapat diklasifikasikan, yaitu:
1.
Acute inflammatory demyelinating polyradiculoneuropathy
2.
Subacute inflammatory demyelinating polyradiculoneuropathy
3.
Acute motor axonal neuropathy
4.
Acute motor sensory axonal neuropathy
5.
Fisher’s syndrome
6.
Acute pandysautonomia
J. Gambaran Klinis
Penyakit infeksi dan
keadaan prodromal :
Pada 60-70 % penderita gejala klinis
SGB didahului oleh infeksi ringan saluran nafas atau saluran pencernaan, 1-3
minggu sebelumnya . Sisanya oleh keadaan seperti berikut : setelah suatu
pembedahan, infeksi virus lain atau eksantema pada kulit, infeksi bakteria,
infeksi jamur, penyakit limfoma dan setelah vaksinasi influensa .
Masa laten
Waktu antara terjadi infeksi atau
keadaan prodromal yang mendahuluinya dan saat timbulnya gejala neurologis.
Lamanya masa laten ini berkisar antara satu sampai 28 hari, rata-rata 9 hari
(4). Pada masa laten ini belum ada gejala klinis yang timbul.
Keluhan utama
Keluhan utama penderita adalah
prestasi pada ujung-ujung ekstremitas, kelumpuhan ekstremitas atau keduanya.
Kelumpuhan bisa pada kedua ekstremitas bawah saja atau terjadi serentak pada
keempat anggota gerak.
Gejala Klinis
1. Kelumpuhan
Manifestasi klinis utama adalah
kelumpuhan otot-otot ekstremitas tipe lower motor neurone. Pada sebagian besar
penderita kelumpuhan dimulai dari kedua ekstremitas bawah kemudian menyebar
secara asenderen ke badan, anggota gerak atas dan saraf kranialis.
Kadang-kadang juga bisa keempat anggota gerak dikenai secara serentak, kemudian
menyebar ke badan dan saraf kranialis.
Kelumpuhan otot-otot ini simetris dan
diikuti oleh hiporefleksia atau arefleksia. Biasanya derajat kelumpuhan
otot-otot bagian proksimal lebih berat dari bagian distal, tapi dapat juga sama
beratnya, atau bagian distal lebih berat dari bagian proksimal (2,4).
2.
Gangguan sensibilitas
Parestesi biasanya lebih jelas pada
bagian distal ekstremitas, muka juga bisa dikenai dengan distribusi sirkumoral
. Defisit sensoris objektif biasanya minimal dan sering dengan distribusi
seperti pola kaus kaki dan sarung tangan. Sensibilitas ekstroseptif lebih
sering dikenal dari pada sensibilitas proprioseptif. Rasa nyeri otot sering
ditemui seperti rasa nyeri setelah suatu aktifitas fisik.
3. Saraf Kranialis
Saraf kranialis yang paling sering
dikenal adalah N.VII. Kelumpuhan otot-otot muka sering dimulai pada satu sisi
tapi kemudian segera menjadi bilateral, sehingga bisa ditemukan berat antara
kedua sisi. Semua saraf kranialis bisa dikenai kecuali N.I dan N.VIII. Diplopia
bisa terjadi akibat terkenanya N.IV atau N.III. Bila N.IX dan N.X terkena akan
menyebabkan gangguan berupa sukar menelan, disfonia dan pada kasus yang berat
menyebabkan kegagalan pernafasan karena paralisis n. laringeus.
4. Gangguan fungsi otonom
Gangguan fungsi otonom dijumpai pada
25 % penderita SGB9 . Gangguan tersebut berupa sinus takikardi atau lebih
jarang sinus bradikardi, muka jadi merah (facial flushing), hipertensi atau
hipotensi yang berfluktuasi, hilangnya keringat atau episodic profuse
diaphoresis. Retensi urin atau inkontinensia urin jarang dijumpai . Gangguan
otonom ini jarang yang menetap lebih dari satu atau dua minggu.
5.
Kegagalan pernafasan
Kegagalan pernafasan merupakan
komplikasi utama yang dapat berakibat fatal bila tidak ditangani dengan baik.
Kegagalan pernafasan ini disebabkan oleh paralisis diafragma dan kelumpuhan
otot-otot pernafasan, yang dijumpai pada 10-33 persen penderita .
6. Papiledema
Kadang-kadang dijumpai papiledema,
penyebabnya belum diketahui dengan pasti. Diduga karena peninggian kadar
protein dalam cairan otot yang menyebabkan penyumbatan villi arachoidales sehingga
absorbsi cairan otak berkurang .
7.
Perjalanan penyakit
Perjalan penyakit ini terdiri dari 3
fase, seperti pada gambar 1. Fase progresif dimulai dari onset penyakit, dimana
selama fase ini kelumpuhan bertambah berat sampai mencapai maksimal. Fase ini
berlangsung beberapa dari sampai 4 minggu, jarang yang melebihi 8 minggu .
Segera setelah fase progresif diikuti
oleh fase plateau, dimana kelumpuhan telah mencapai maksimal dan menetap. Fase
ini bisa pendek selama 2 hari, paling sering selama 3 minggu, tapi jarang yang
melebihi 7 minggu .
Fase rekonvalesen ditandai oleh
timbulnya perbaikan kelumpuhan ektremitas yang berlangsung selama beberapa
bulan. Seluruh perjalanan penyakit SGB ini berlangsung dalam waktu yang kurang
dari 6 bulan.
Gambar
1. Perjalanan alamiah SGB skala waktu dan beratnya kelumpuhan bervariasi antara
berbagai penderita SGB .
1.Variasi
klinis
Di samping penyakit SGB yang klasik
seperti di atas, kita temui berbagai variasi klinis seperti yang dikemukakan
oleh panitia ad hoc dari The National Institute of Neurological and Communicate
Disorders and Stroke (NINCDS) pada tahun 1981 adalah sebagai berikut :
- Sindroma Miller-Fisher
- Defisit sensoris kranialis
- Pandisautonomia murni
- Chronic acquired demyyelinative neuropathy
2.Pemeriksaan
laboratorium
Gambaran laboratorium yang menonjol
adalah peninggian kadar protein dalam cairan otak : > 0,5 mg% tanpa diikuti
oleh peninggian jumlah sel dalam cairan otak, hal ini disebut disosiasi
sito-albuminik. Peninggian kadar protein dalam cairan otak ini dimulai pada
minggu 1-2 dari onset penyakit dan mencapai puncaknya setelah 3-6 minggu .
Jumlah sel mononuklear < 10 sel/mm3. Walaupun demikian pada sebagian kecil
penderita tidak ditemukan peninggian kadar protein dalam cairan otak.
Imunoglobulin serum bisa meningkat. Bisa timbul hiponatremia pada beberapa
penderita yang disebabkan oleh SIADH (Sindroma Inapproriate Antidiuretik
Hormone).
3.Pemeriksaan
elektrofisiologi (EMG)
Gambaran
elektrodiagnostik yang mendukung diagnosis SGB adalah :
- Kecepatan hantaran saraf motorik dan sensorik melambat
- Distal motor retensi memanjang
- Kecepatan hantaran gelombang-f melambat, menunjukkan perlambatan pada segmen proksimal dan radiks saraf.
- Di samping itu untuk mendukung diagnosis pemeriksaan elektrofisiologis juga berguna untuk menentukan prognosis penyakit : bila ditemukan potensial denervasi menunjukkan bahwa penyembuhan penyakit lebih lama dan tidak sembuh sempurna .
Terapi
Sindroma Guillain-Barre
dipertimbangkan sebagai kedaruratan medis dan pasien diatasi di unit intensif
care. Pasien yang mengalami masalah pernapasan memerlukan ventilator yang
kadang-kadang dalam waktu yang lama.
Pada sebagian besar penderita dapat
sembuh sendir. Pengobatan secara umum bersifat simtomik. Meskipun dikatakan
bahwa penyakit ini dapat sembuh sendiri, perlu dipikirkan waktu perawatan yang
cukup lama dan angka kecacatan (gejala sisa) cukup tinggi sehingga pengobatan
tetap harus diberikan. Tujuan terapi khusus adalah mengurangi beratnya penyakit
dan mempercepat penyembuhan melalui sistem imunitas (imunoterapi).
Kortikosteroid
Kebanyakan penelitian mengatakan bahwa
penggunaan preparat steroid tidak mempunyai nilai/tidak bermanfaat untuk terapi
SGB.
Plasmaparesis
Plasmaparesis atau plasma exchange
bertujuan untuk mengeluarkan faktor autoantibodi yang beredar. Pemakain
plasmaparesis pada SGB memperlihatkan hasil yang baik, berupa perbaikan klinis
yang lebih cepat, penggunaan alat bantu nafas yang lebih sedikit, dan lama
perawatan yang lebih pendek. Pengobatan dilakukan dengan mengganti 200-250 ml plasma/kg
BB dalam 7-14 hari. Plasmaparesis lebih bermanfaat bila diberikan saat awal
onset gejala (minggu pertama).
Pengobatan imunosupresan:
1. Imunoglobulin IV
Pengobatan dengan gamma globulin
intervena lebih menguntungkan dibandingkan plasmaparesis karena efek
samping/komplikasi lebih ringan. Dosis maintenance 0.4 gr/kg BB/hari selama 3
hari dilanjutkan dengan dosis maintenance 0.4 gr/kg BB/hari tiap 15 hari sampai
sembuh.
2. Obat sitotoksik
Pemberian
obat sitoksik yang dianjurkan adalah:
- 6 merkaptopurin (6-MP)
- Azathioprine
- cyclophosphamid
Efek
samping dari obat-obat ini adalah: alopecia, muntah, mual dan sakit kepala.
ASUHAN KEPERAWATAN
1.
Pengkajian
Data subjektif:
- Bangun tidur di pagi hari mengeluh tidak bisa berjalan
- Sebelumnya dia mengalami diare-diare dan demam kira-kira 1 minggu sebelumnya
- Tidak mampu menelan air liurnya
- Sebelum sakit sangat aktif baik dalam pekerjaannya, olahraga lari pagi, berkebun, mengendarai kendaraan dan merawat dirinya
Data Objektif:
- Hasil pemeriksaan fisik tidak ditemukan tanda-tanda objektif yang menunjukakan stroke
- Kelemahan pada kedua ekstrmitas atasnya dan akhirnya menggunakan alat bantu pernapasan (ventilator)
- Hasil lumbal pungsi cairan serebrospinal ditemukan protein tinggi dan tekanan meningkat, leukositosis
Analisa Data
Data
|
Masalah
|
Etiologi
|
DS:
DO:
|
Pola
napas dan pertukaran gas tidak efektif
|
Kelemahan
otot-otot bantu pernapasan
|
DS:
DO:
|
Imobilisasi
|
Paralisis
|
2.
Diagnosa Keperawatan
1). Pola napas dan pertukaran gas tidak efektif b.d
Kelemahan otot-otot pernapasan atau paralisis, berkurangnya refleks batuk,
immobilisasi.
2). Kerusakan Mobilitas fisik b.d kerusakan neuromuskuler
3) Resiko gangguan
integritas kulit : dekubitus berhubungan dengan kelemahan otot, paralisis, gangguan
sensasi, perubahan nutrisi, inkontenensia.
4) perubahan
nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan kesulitan mengunyah,
menelan, kelelahan, paralisis ekstremitas.
5) gangguan
eliminasi : konstipasi, diare berhubungan dengan tidak adekuatnya intake
makanan, immobilisasi.
6) gangguan
komunikasi verbal berhubungan dengan paralisis saraf kranial VII, trakeostomi.
7) Tidak
efektifnya koping pasien berhubungan dengan keadaan penyakitnya
8) Kurangnya
pengetahuan pasien / keluarga berhubungan dengan penyakit, pengobatan,
prognosis dan perawatannya.
Rencana asuhan keperawatan
1.
Pola napas dan pertukaran gas tidak efektif b.d Kelemahan otot pernapasan
Tujuan
:
Membuat / mempertahankan pola
pernafasan efektif melalui ventilator
Kriteria
Hasil :
Tidak terdapat sianosis , Saturasi
oksigen dalam rentang normal
Tindakan
keperawatan
a. Selidiki Etiologi gagal pernapasan
R/
Pemahaman penyebab masalah pernapasan penting untuk perawatan pasien
b. Observasi pola napas. Catat frekuensi
pernapasan , jarak antara pernafasan spontan dan napas ventilator
R/
Pasien pada ventilator dapat mengalami hiperventilasi /hipoventilasi , dispnea
/ lapar udara dan berupaya memperbaiki kekurangan dengan bernapas berlebihan
c.
Auskultasi
dada secara periodik catat adanya / tak adanya dan kualitas bunyi napas , bunyi
napas tambahan , juga simetrisitas gerakan dada
R/
Memberikan informasi tentang aliran udara melalui trakeobronkial dan adanya
/tidak adanya cairan
d. Periksa selang terhadap obstr,uksi .
Contoh terlipat atau akumulasi air . Alirkan selang sesuai indikasi , hindari
aliran ke pasien atau kembali kedalam wadah
R/
Lipatan selang mencegah penerimaan volume adekuat dan meningkatkan tekanan
jalan napas . Air mencegah distribusi gas dan pencetus pertumbuhan bakteri
e. Periksa fungsi alaram Ventilator,
Jangan matikan alaram , meskipun untuk penghisapan, Yakinkan bahwa alaram
terdengar ke kantor perawat
R/
Sangat penting apabila terdapat tanda- tanda distres pernafasan atau henti
napas
f.
Pertahankan
tas resusitasi disamping tempat tidur dan ventilasi manual kapanpun
diindikasikan
R/
Memberikan / menyediakan ventilasi adekuat bila pasien atau masalah menuntut
pasien sementara dilepas dari ventilator
Kolaborasi
a. Kaji susunan ventilator secra rutin
dan yakinkan sesuai indikasi
R/
Mengontrol /menyusun alat sehubungan dengan penyakit utama pasien dan hasil
pemeriksaan diagnostik untuk mempertahankan parameter dalam batas benar
b. Cbservasi persentasi
konsentrasi oksigen , yakinkan bahwa aliran olsigen tepat , awasi analisa
oksigen atau lakukan analisa oksigen periodik
R/
Nilai untuk mempertahankan persentase oksigen yang dapat diterima dan saturasi
untuk kondisi pasien ( 21% sampai 100% ) . Karena mesin tidak selalu akurat,
analiser oksigen dapat digunakan untuk memastikan apakah pasien menerima
konsentrasi oksigen yang diinginkan
c.
Kaji
volume tidal ( 10-15 ml /kg ) Yakinkan fungsi spirometer baik . Catat perubahan
dari pemberian volume yang terbaca pada komputer
R/ Mengawasi
jumlah udara inspirasi dan ekspirasi . Perubahan dapat menunjukkan gannguan
komplain paru atau kebocoran melalui mesin.
2. Diagnosa keperawatan : Kerusakan
Mobilitas fisik berhubungan dengan kerusakan Neuromuskuler
Tujuan
Untuk mempertahankan posisi fungsi
dengan tak ada komplikasi ( kontraktur , dekubitus )
Kriteria
Hasil ;
Klien dapat meningkatkan kekuatan dan
fungsi bagian yang sakit
Tindakan
keperawatan
a. Kaji kekuatan motorik / kemampuan
secara fungsional dengan menggunakan skala 0-5.
R/
Menentukan perkembangan/ munculnya kembali tanda yang menghambat tercapainya
tujuan / harapan pasien
b. Berikan posisi pasien yang
menimbulkan rasa nyaman . Lakukan perubahan posisi dengan jadwal yang teratur
sesuai kebutuhan secara individual
R/
Menurunkan kelelahan , meningkatkan relaksasi . Menurunkan resiko terjadinya
iskemia / kerusakan pada kulit
c.
Sokong
ekstrimitas dan persendian dengan bantal
R/
Mempertahankan ekstrimitas dalam posisi fisiologis , mencegah kontraktur.
d. Lakkukan latihan rentang gerak pasif
. Hindari latihan aktif selama fase akut
R/
Menstimulasi sirkulasi., meningkatkan tonus otot dan meningkatkan mobilisasi
sendi
e. Koordinasikan asuhan yang diberikan
dan periode istirahat tanpa gangguan
R/Penggunaan
otot secara berlebihan dapat meningkatkan waktu yang diperlukan untuk
remielinisasi , arenanya dapat memperpanjang waktu untuk penyembuhan
f.
Anjurkan
untuk melakukan latihan yang terus dikembangkan dan bergantung pada toleransi
secara individual
R/
Kegiatan latihan pada bagian tubuh yang terkena yang ditingkatkan secara
bertahap / terprogram , meningkatkan fungsi organ secara normal dan memiliki
efek psikologis yang positif
g. Berikan lubrikasi / minyak artifisial
sesui kebutuhan
R/
Mencegah dari kekeringan tubub klien.
Kolaborasi
a. Konfirmasikan dengan / rujuk kebagian
terapi fisik / terapi okupasi
R/ Bermanfaat dalam
menciptakan kekuatan otot secara individual /latihan terkondisi dan program
latihan berjalan dan mengidentifikasi alat bantu untuk mempertahankan
mobilisasi dan kemandirian dalam melakukan aktivitas sehari- hari.
3. Gangguan integritas kulit : dekubitus
berhubungan dengan kelemahan otot, paralisis, gangguan sensasi, perubahan
nutrisi, inkontenensia.
Data pendukung
:
§
Pasien
menyatakan kelemahan dan paresthesia
§
Ketidakmampuan
melakukan aktivitas
§
Adanya
kelemahan otot yang menjalar ke atas
§
Kekuatan
otot menurun
§
Atropi
§
Hilangnya
sensori
§
Hilangnya
refleks tendon
§
Perubahan
nutrisi
§
Inkontenensia
kriteria
hasil
§
Pasien
mempertahankan kulit tetap kering dan utuh
§
Mempertahankan
daerah yang tertekan tetap kering dan utuh, bebas dari dekubitus.
Rencana tindakan
a. Kaji fungsi motorik dan sensorik
setiap 4 jam
R/
paralisis otot dapat terjadi dengan cepat dengan pola yang makin naik.
b. Kaji derajat ketergantungan pasien.
R/ mengidentifikasi kemampuan pasien dalam kebutuhan ADL
c.
Monitor
daerah yang tertekan
R/ mengidentifikasi tanda-tanda awal dekubitus
d. Jaga kebersihan tempat tidur, laken
tetap bersih, kencang dan kering.
R/ laken yang basah, kotor dan kusur memudahkan terjadinya
dekubitus
e. Monitor intake dan output nutrisi
R/ nutrisi yang adekuat mengurangi resiko dekubitus
f.
Lakukan
alih posisi setiap 2 jam
R/ melancarkan aliran darah bagian yang tertekan
g. Lakukan ROM
R/ mencegah atropi
h. Pertahankan sikap tubuh yang terapeutik
pada bahu, lengan, panggul dan tungkai.
R/ bagian yang tertekan memerlukan perhatian khusus karena
beresiko terjadi dekubitus.
i.
Lakukan
massage pada daerah yang tertekan
R/ memperlancar aliran darah
j.
Gunakan
alat bantu untuk mencegah penekanan
R/ mengurangi resiko dekubitus
4. Perubahan nutrisi kurang dari
kebutuhan tubuh berhubungan dengan kesulitan mengunyah, menelan, kelelahan,
paralisis ekstremitas.
Data
pendukung
§
Pasien
menyatakan tidak bisa mengunyah dan menelan
§
Pasien
menyatakan tangannya tidak dapat digerakkan
§
Ketidakmampuan
melakukan aktivitas
§
Terpasang
NCT
§
Diet
makan, nilai gizi
§
Berat
badan menurun
§
Nilai
albumin dan Hb
§
Tanda-tanda
kekurangan gizi
§
Adanya
mual
§
Intake
makanan yang masuk tidak sesuai porsi
Kriteria hasil
§
Intake
makanan sesuai kebutuhan
§
Tidak
terjadi aspirasi saat makan
§
Tidak
terjadi tanda-tanda kurang nutrisi
§
Pasien
toleran terhadap makanan parenteral/personde, dengan residu minimal
Rencana
tindakan
a.
Kaji
kemampuan menelan dan mengunyah, fungsi motorik pada ektremitas
R/
identifikasi kemampuan makan pasien
b.
Monitor
intake dan output nutrisi
R/
menentukan adekuatnya kebutuhan nutrisi pasien
c.
Kaji
tanda-tanda kurang gizi : anemis, nilai albumin, Hb.
R/
mengetahui status nutisi pasien
d.
Berikan
makanan sesuai diet tinggi kalori protein
R/
memenuhi kebutuhan nutrisi
e.
Berikan
makanan personde dengan posisi setengah duduk atau semifowler
R/
menghindari terjadinya aspirasi
f.
Berikan
posisi duduk setelah makan
R/
menghindari refluks makanan
g.
Lakukan
perawatan mulut sesudah dan sebelum makan
R/
meningkatkan rasa nyaman dan meningkatkan nafsu makan
h.
Lakukan
perawatan infus untuk nutrisi parenteral setiap hari
R/
mencegah terjadinya phlebitis, kepatenan infuse
i.
Timbang
berat badan 3 hari sekali jika memungkinkan
R/
mengetahui status nutrisi
5. Gangguan eliminasi : konstipasi, diare
berhubungan dengan tidak adekuatnya intake makanan, immobilisasi.
Data
pendukung
§
Pasien
menyatakan tidak dapat BAB, diare.
§
Ketidakmampuan
melakukan aktivitas/ kurang mobilisasi
§
Adanya
kelemahan otot yang menjalar ke atas
§
Kekuatan
otot menurun
§
Pola
BAB di rumah
§
Meningkat
atau menurunnya bising usus
§
Diet
rendah serat
§
Feses
keras atau cair
Kriteria hasil
§
Pola
BAB teratur
§
Konsistensi
feses lembek
§
Bising
usus normal
Rencana
tindakan
a.
Kaji
pola BAB pasien
R/ menentukan perubahan pola eliminasi
b.
Kaji
bising usus, frekuensi, intensitas
R/ bising usus yang lambat dan lemah memungkinkan
terjadinya konstipasi
c.
Berikan
diet tinggi serat
R/ meningkatkan residu makanan dan memperlancar BAB
d.
Berikan
banyak minum sesuai batas toleransi
R/ melancarkan atau melembekkan feses
e.
Lakukan
ROM, tingkatkan aktivitas
R/ meningkatkan pergerakan untuk melancarkan BAB
f.
Jaga
privasi pasien dalam BAB
R/ meningkatkan keinginan BAB
g.
Berikan
obat pelembek feses : laksadin, supposituria, laxative dan enema dan kaji
efektivitasnya
R/ melembekkan feses dan memudahkan pengeluaran feses
6. Gangguan komunikasi verbal berhubungan
paralisis saraf cranial VII, trakeostomi.
Data
pendukung
§
Kesulitan
dalam komunikasi
§
Penggunaan
bahasa isyarat
§
Paralisis
saraf fasialis
§
Adanya
trakeostomi
Kriteria hasil
§
Pasien
dapat mengekspresikan diri secara verbal dan non verbal
§
Mengkomunikasikan
keinginan dan kebutuhan kepada staf atau pengunjung
Rencana
tindakan
a.
Kaji
kemampuan komunikasi pasien verbal / non verbal
R/ identifikasi kemampuan komunikasi pasien
b.
Gunakan
pertanyaan tertutup dengan jawaban “ya” atau “tidak”
R/ memudahkan pasien untuk menjawab
c.
Bicara
pelan dan terjadi kontak mata
R/ komunikasi mudah dipahami
d.
Gunakan
bahasa isyarat
R/ membantu memudahkan komunikasi
e.
Konsultasikan
dengan speck terapi dalam latihan bicara
R/ penangan lebih lanjut
f.
Komunikasikan
kepada keluarga dan staf perawat tentang gangguan komunikasi
R/ keluarga tidak memaksakan untuk berkomunikasi secara
verbal sehingga mengakibatkan rasa frustasi pada pasien.
7. Tidak efektifnya koping pasien
berhubungan dengan keadaan penyakitnya.
Data
pendukung
§
Apatis
§
Sensitive
§
Kesulitan
tidur
§
Menarik
diri
Kriteria hasil
§
Pasien
dapat mendemonstrasikan koping yang efektif
§
Pasien
dapat memandang secara realistic tentang penyakitnya
§
Pasien
dapat mengekspresikan perasaan kehilangan dan berespon positif terhadap keadaan
dirinya.
§
Pasien
kooperatif dan berpartisipasi dalam perawatan dirinya
Rencana
tindakan
a.
Kaji
perilaku dan mekanisme koping pasien
R/ penyakit CBS dapat menimbulkan perubahan perilaku dan
gaya hidup
b.
Gali
perasaan dan ketakutan terhadap penyakitnya
R/ memberikan kesempatan pada pasien untuk mengekspresikan
perasaannya
c.
Berikan
kesempatan pasien untuk mengungkapkan secara verbal tentang gambaran masa depan
R/ membantu menurunkan ketegangan
d.
Libatkan
pasien untuk berpartisipasi dalam perawatan diri sesuai kemampuannya
R/ pasien merasa dihargai dan meningkatkan harga diri
e.
Hargai
kemampuan yang telah dimiliki pasien
R/ meningkatkan harga diri pasien
f.
Kolaborasi
dengan psikolog/ psikiater dalam meningkatkan kemampuan koping pasien.
R/ membantu meningkatkan koping yang positif.
8. Kurangnya pengetahuan pasien /
keluarga berhubungan dengan penyakit, pengobatan, prognosis dan perawatannya.
Data
pendukung
§
Pasien/keluarga
menyatakan tidak mengetahui penyakitnya
§
Pasien
/keluarga tidak kooperatif dalam perawatan pasien
§
Pasien/keluarga
menanyakan tentang penyakitnya
Kriteria hasil
§
Pasien/keluarga
memahami tentang penyakit, prognosis, pengobatan dan perawatannya.
§
Pasien/
keluarga kooperatif dalam perawatan
Rencana
tindakan
a.
Kaji
pengetahuan pasien tentang penyakitnya
R/
mengidentifikasi tingkat pengetahuan pasien tentang penyakitnya
b.
Berikan
informasi verbal dan non verbal tentang
penyakitnya
R/
memahami tentang penyakitnya
c.
Berikan
kesempatan pada pasien untuk bertanya
R/
memperjelas materi yang diberikan
d.
Berikan
tanggapan yang positif dan realistik tentang penyakitnya
R/
memberikan motivasi dalam perawatan pasien.
DAFTAR PUSTAKA
1.
Hudak
& Gallo. (1996). Keperawatan kritis : pendekatan holistic. Vol. 2.
EGC.jakarta.
2.
Jukarnain.,2011.”
Materi Kuliah Keperawatan Medikal Bedah Gangguan Sistem Persarafan”. Makassar.
3.
R. Syamsuhidayat & Wim de Jong, 2001, Buku Ajar Ilmu Bedah Edisi Revisi, EGC, Jakarta.
Casino Royale - Live Dealer Games - Virgin Games
BalasHapusCasino Royale is a live casino with a หาเงินออนไลน์ large, eclectic portfolio of casino games. Players can https://vannienailor4166blog.blogspot.com/ play septcasino this gri-go.com game with live dealers, wooricasinos.info